Postingan

Neraca

Aku bertanya-tanya. Jika benar bahwa sesosok diri adalah representasi dari sebuah neraca yang terdiri dari id, ego, dan superego, maka diri seperti apakah aku saat ini? Adakah aku sudah berhasil menjadi diri yang seimbang, atau masih berat sebelah pada satu sisi? Kalau belum seimbang, sisi manakah yang lebih dominan? Dan selama sisi tersebut mendominasi, lebih banyak mendatangkan keuntungan atau malah merugikan kah? Aku tak benar-benar yakin dalam diriku ini tentang mana yang id dan mana yang superego. Tapi jika diingat bahwa aku kerapkali kewalahan mengatasi rasa bersalah, aku menduga bahwa aku sedang dalam dominasi superego. Bisa jadi. Atau malah itu adalah id yang mengelabui diri yang bertindak seolah-olah itu dorongan superego. Ah, mulai lagi. Begitu banyak lamunan yang datang tiap kali aku tak berbuat apa-apa. Besar inginku menangkapnya satu per satu dan merapikannya, memenjarakannya dalam aksara-aksara lalu menyusunnya dalam arsip-arsip memori, tapi selalu saja gagal. Lamunan-

Trigger(ed)

Cinta. Aku penasaran, mengapa bisa segala hal berbau romansa tak pernah tuntas dalam tahap perkembangan manusia. Seolah ada saja cerita tak terduga tentangnya bahkan di setiap jenjang usia. Pernah dalam sebuah seminar, seorang pembicara menyatakan bahwa romansa orang lansia, dalam kasus di sebuah panti jompo, tak kalah rumit dan lebay dari percintaan remaja. Amboi. Adakah ini terkait dengan sesuatu yang menyertainya, yang selalu dianggap tabu itu—sex, yang pada dasarnya adalah kebutuhan dasar manusia? Kerasnya proses evolusi yang dijalani manusia membuat segala hal yang menyangkut upaya bertahan hidup dan melestarikan kelompok tak bisa lagi didapatkan dengan cara terang-terangan, semua harus melalui prosedur, yang menurutku bisa dibilang dengan menyelundupkan niat, tujuan, atau keinginan utama dengan perilaku-perilaku yang dapat diterima dalam kesepakatan bersama tertentu. Seleksi alam tidak lagi tentang yang paling kuat yang bertahan, tetapi yang paling manipulatiflah yang menang.

Pernah

Kita mungkin hanya berjarak 'pernah'. Sekarang pun. Saat kamu bertanya, apakah aku menyukaimu Kujawab sesuai yang dapat terbaca dari diriku 'Ya', kataku Tapi aku luput jika di depan kata 'ya' tertulis 'pernah' yang begitu kecil dan hampir tak terbaca Beberapa bulan kemudian, akibat kata 'ya' itu, aku yang bangsat ini menyia-nyiakan waktu berhargamu Hahaha, jangan sungkan-sungkan kalau mau misuhin aku Kadang aku ingin bertanya. Ah, bukan kadang. Selalu. Aku ingin bertanya kepadamu dan juga kepada semua yang berkata menyukaiku atau mendekat kepadaku Apa bagusnya aku? Apa menariknya aku? Sialnya, aku terlalu pecundang untuk berani bertanya begitu Aku ingin berkata bahwa caramu mengalihkan situasi dari aku mempertanyakan itu telah mempecundangiku. Tapi tidak, memang akunya yang pecundang. Apa itu penting? Oh ya tentu saja penting Sebab jika aku tak bisa merasa cukup, bagaimana aku bertahan? Ah, tapi itu sudah lalu Dan aku sedikit diru

Perempuan dan Cerita Romansa

Seberapa banyak aku mengenal diriku? Walau sudah kutelisik lebih dalam lagi tentang seberapa banyak hal kuketahui, namun nyatanya masih belum cukup banyak kurasa. Aku masih saja terkejut dengan beberapa hal yang baru kusadari dari diriku. Misalnya, bahwa aku begitu benci jika memiliki tanya yang tak kunjung berjawab, atau jawaban yang datang padahal tidak sedang ditanya. Memang, sesuatu yang datang tidak pada tempatnya itu betul-betul merepotkan. Digantung pada kepastian jawaban itu seperti memerangkap diri dalam ruang sesak bernama kecemasan, sedangkan mengetahui fakta yang tak sedang diingini...sama saja sih, mencemaskan, tapi lebih tepatnya kadang mengecewakan saking terkejutnya. Ah, menjadi perfeksionis itu memang menyebalkan. Tapi kok ya bisa-bisanya orang-orang itu mau mengenal aku yang menyebalkan begini. Aku saja sebal. Katanya, perempuan dan cerita romansa itu dua hal yang tak bisa dipisahkan. Hahaha, aku ingin menyangkal, tapi setiap kali aku menyangkal sesuatu, aku menyad

Karma

Aku bukannya tak suka menunggu. Hanya saja cobalah ingat, pernahkah ia meminta untuk menunggu? Tidak, kan? Pernah dengan tiba-tiba pergi, membiarkan aku mengetahui kabarnya tapi tidak darinya sendiri. Oh, bukan berarti aku lantas mengabaikannya, aku masih memperhatikan. Tapi tidak lagi menginginkannya. Sebab aku tak pernah diminta menunggu, kan, jadi untuk apa? "Ayolah, itu kekanakan sekali." Baiklah jika menurutnya aku kekanakan, aku tak sedang ingin menyangkal juga. Karena menjadi begini memang menyenangkan bagiku. Memangnya, dia tidak lebih kekanakan, begitu? Pergi begitu saja lalu tiba-tiba datang dan ingin tinggal. Tinggal saja sesukanya, namun dia perlu tahu kalau aku tak sedang menginginkan itu. Aku tahu, aku juga melakukan hal yang sama sepertinya kepada orang lain. Dan mungkin hal yang sama akan menimpaku juga. Mereka menyebutnya karma, aku tahu. Hah, merepotkan. Tapi aku benar-benar pusing saat ini. Bojonegoro, 18 Agustus 2020.

Dingin

Ada masa ketika hasrat begitu menggebu, begitu percaya dirinya dan yakin sehingga bertekad untuk tak akan melepas apa saja yang telah kuputuskan untuk kukejar, apapun yang terjadi. Namun juga ada waktu, untuk berhenti mengejar apa yang sudah telanjur terlepas. Wes tala. Sudahlah. Biarkan saja. Dulu, kata ini selalu manjur untuk mendamaikan diriku. Kusebut diriku dan bukan hatiku, sebab aku tak tahu bagian mana tepatnya yang sedang kacau. Hatiku kah? Pikiranku kah? Entah. Tak penting juga mengidentifikasi mana bagian yang sedang kacau, sebab pada akhirnya sama, sama-sama suatu bagian dari diriku yang perlu dirapikan segera, oleh diriku sendiri juga. Hei, akhir-akhir ini pagi sangat dingin, bukan? Oh iya, kamu ada usulan tentang cara yang lebih efektif untuk merapikan bagian diri yang koyak? Jangan sebutkan kalau saranmu adalah mencari satu lagi yang baru. Itu hanya akan memperburuk situasi.

Hana

23 Juli 2020, pukul 05.21 pagi. Dari aplikasi Stellarium, ku tahu bahwa bintang terang yang tengah naik dari langit timur itu adalah Venus. Ahaha iya, dia bukan bintang. Dia planet. Tapi otak kita terbiasa mengasosiasikan semua benda berkelip kecil di langit gelap sebagai bintang. Tak masalah. Aku baru saja selesai berlari-lari kecil, dan kini aku tengah berjalan santai menuju rumah. Aneh barangkali, baru jam segini tapi sudah di jalan pulang. Hehe, aku hanya berlari selama 5 menit saja sih. Aku masih terjebak dalam stigma bahwa tidak elok anak perempuan malah keluyuran pagi-pagi. Stigma sialan memang, lama aku jadi malas bergerak karena ini. Ah, aku ingin mengambil jalan pulang yang sedikit lebih panjang, sambil menyelesaikan celotehku ini. Hehe iya, aku mengetik sambil berjalan. Rute yang selalu kulalui adalah sebuah jalan kecil yang sangat panjang menuju desa tetangga, yang di kiri kanan jalan adalah area persawahan. Sangat sepi di sini, itulah mengapa aku berani lewat sini. Ja